Tausyiah? Putri hampir tertawa mendengarnya. Bagaimana bisa cowok seperti Faris melakukannya, apa lagi buat seluruh panitia. Ia saja begitu gugup saat berdiri di depan mimbar untuk mengucapkan sambutan. Kacau! Putri yang waka bisa apa? Nggak lucu kan akhwat melangkahi ikhwannya. Aneh. Punya potensi nggak sih, Akh?
Sore setengah mendung. Laporan kegiatan belum selesai diketik ketika telepon berdering. Siapkan mentalmu Putri, itu mungkin permintaan maaf dari Sang Ketua! Ah, benar saja. Si Mbak berbisik, “Maurice”. Yah ngapain juga bisik-bisik, cuma Maurice kok. “Afwan ya, Put,” ngebass, seperti biasa Putri kaget dan menarik nafas. Gile, suaranya berat abis. Sori ya, tiada afwan bagimu! Duh andai bisa bicara seperti itu. Tapi akhwat kan harus jaim. “Iya,” jawabnya pelan. “Tolong dipahami, keadaan ikhwan memang kacau-balau...” Maurice pun mulai menyalahkan dirinya. Putri sudah hafal. Bosan! Putri diam, ia masih punya banyak tugas. Jika Maurice tak bisa membantu, ya sudah! “Ada yang mau ditanyakan, Put?” wah, gayanya tua banget, serasa anak kecil dapat nilai merah deh. Tapi ini kesempatan. Ia menarik nafas, “Ris, Putri mau minta tolong...” ia tunggu tanggapannya.
“Ya?”
Oke, mulai, “Soal Faris, Eris bisa kan ngomong sama dia...” bla bla bla. Putri tak yakin ini berhasil. Tak disangka Maurice malah menyerahkan semuanya padanya. Katanya, akhwat gerak saja duluan. Putri senang sekaligus bingung. Serius ikhwan mau ditinggal? Ya udah, dadah akhi-akhi, mmuuuah!
Kesel juga Putri malam ini, cowok-cowok itu nelepon lama banget. Bikin ortunya curiga aja. “Put, mbok ya sudah. Semua kok kamu yang mengerjakan sih!” kata ibu saat Putri sedang menyelesaikan proposalnya. “Kamu nanti pulang sama siapa Put? Ada transport?” tanya ayah ketika Putri hendak mendatangi para donatur. Jadi keki sendiri, belakangan ini Putri jadi jarang di rumah, kumpul sama Mbak Nov, Mas Bim, atau ayah ibu. Putri yang tadinya merasa senang-senang saja mendapat tugas itu malah jadi terbebani.
“Sini deh Put, apa yang bisa Meta bantu?”, ujar sahabat karibnya setelah Putri curhat soal kerjaan yang nggak ada habis-habisnya itu. “Makasih Met, mau dengerin gue aja udah ngebantu kok.”
“Hm. Nggak bisa gini terus lho Put. Gue saranin lo ngomong sama yang lain. Toh ini bukan tugas lo doang, member yang lain gimana, lalu koordinator ikhwannya?” Putri menghela nafas. Faris? Emang bisa ngandelin dia? Tapi Putri nggak mau ngomongin dia, takut ghibah. Putri menggeleng, “Mending begini Met, Putri masih bisa kok ngurus semuanya,” sahutnya yakin, padahal dalam hati Putri ragu juga. Apalagi soal member yang memang pada kurang interest. “I know, you are super akhwat, right?” Putri cuma bisa tertawa mendengar celotehan Meta. “Ya, tapi perlu gue ingetin Put, kita itu makhluk individu sekaligus sosial. Di sini nggak ada tuh paham liberty, indiviualism, yang ada tenggang rasa, gotong royong, tepa selira...”
“Huu, dasar calon guru PPKn!” Putri menggeleng-gelengkan kepala. Senyumnya mendadak hilang saat melihat cowok yang melintas di hadapannya. Ia membuang muka, kenapa ya rasanya kok sebel banget melihat wajah itu.
“Indah bareng Putri kok. Yuk, Ndah!” Entar kita ketinggalan metro,” Putri menggamit tangan Indah. Tak dipedulikannya ekspresi keheranan di wajah Indah sesaat setelah Maurice menanyakan tak apakah Indah pulang sendirian. “Kita kan beda arah Put?” Mereka menyeberangi jalan meninggalkan Maurice yang masih berdiri di depan gerbang sekolah. “No problem, Putri jamin Indah selamet sampe rumah, Insya Allah,” Putri memutuskan untuk mengantar gadis itu sebelum ia sendiri pulang. Memang agak nekat, apalagi hari sudah mulai gelap. “Daripada sama ikhwan, entar lo jadi kembang diantara kambing. Nggak rela gue,” canda Putri. Ia melambaikan tangan, bus orange itu berhenti di depan mereka. Perasaaan Putri tak enak saat dua orang berambut gondrong turut masuk ke metro. Benar saja, ketika mereka turun di halte yang sepi, kedua orang itu ikut turun. Dan dengan gerakan cepat, layaknya jambret profesional mereka merebut tas tenteng Indah. Spontan Indah berteriak. “Pegang, Ndah!” Putri menyerahkan ranselnya yang berat, ia mengejar pencopet itu. Sedikit lagi... “Ah, sial!” badan Putri melemah. Ia limbung, maghnya memang nggak bisa diajak kompromi. Di belakangnya melesat dua pemuda tanggung. Yeah, mereka berhasil merebutnya! “Put, kamu nggak papa kan?” Putri memfokuskan pandangannya. Lho, kok Faris sama Luki? Dua ikhwan itu mengembalikan tas Indah. “Makasih ya,” Indah tertunduk. Mereka belum sempat menyahut saat Putri menyela, “Siapa yang nyuruh? Maurice?” Putri menegakkan tubuhnya yang sempoyongan, “Makasih deh, kalian lebih baik pulang saja.”
“Tapi amanatnya, kami harus...” Luki tak melanjutkan. Tatapan Putri seakan menjelaskan bahwa mereka tak ingin dibuntuti lagi. “Assalamualaikum!” Putri cuek pergi, diiringi Indah yang kebingungan.
“Put, kok...”
“Putri sadar satu hal, Ndah,” ia meringis menahan sakit, “Jadi akhwat tuh jangan manja!” Pandangan Putri menerawang, merasa tertipu dengan cerita-cerita dimana kaum Adam selalu rela berkorban dan melindungi kaum Hawa. Kebohongan besar!
Putri memandang hasil kerjanya dengan sobat-sobatnya semalam suntuk, “Thanks guys, dekornya oke!”
“Putri, sini deh!” terdengar seruan Nina dari belakang panggung.
“Kenapa?”
“Sound systemnya gimana Put?”
“Belum siap?”
“Sama sekali!”
Putri bergegas turun, no time again. Ia tak ingat siapa yang bertugas di bagian peralatan, yang pasti kerjaannya ikhwan. Putri sudah tak kaget kini bila tanggung jawab semacam itu tak dilaksanakan.
“Put, konsumsinya datang, ditaruh mana?!” seru seseorang. Putri tak sempat melihat wajahnya, “Naikin dulu!” sahutnya, hampir saja ia tersandung anak tangga.
“Put, yang ngurus daftar ulang siapa?” seseorang yang lain bertanya. Kenapa bukan lo! Putri tak menghentikan langkahnya. “Nanti Putri yang urus, sekarang lo bisa pegang dulu kan?”
“Tapi gue kan...”
“Oke, Putri yang urus!!” Putri tak sabar lagi. Putri hendak memasuki ruang peralatan ketika tiba-tiba kepalanya terasa sakit. “Rizki!” serunya ketika melihat salah seorang member. Rizki terburu-buru menghampirinya, “Sori Put, gue mau...” Putri tak menghiraukan kata-katanya, “Riz, bilangin sama yang lain, sound systemnya dibawa ke atas, pendaftaran sama konsumsi masih...” badan Putri lemas, matanya gelap, wajahnya pucat, tangannya terasa dingin digenggaman Rizki, “Riz, tolong ya!” kata-kata terakhir Putri sebelum pingsan.
Ffh...Putri bosan. Ia tidak betah berada di rumah sakit, walaupun divonis hipotensi dan mengalami magh berat. Tapi percuma kali ini ia merengek pada ayah, ibu, atau Mbak Nov yang dari tadi ngejagain, tetap saja nggak dikasih izin sekedar buat jalan-jalan. “Sayang, ada temen-temenmu tuh!” kata ibu. Wajah Putri mendadak jadi lebih segar. “Assalamualaikum, Putri!!!” Ada Meta, Nina, wah banyak banget fans Putri. “Wa’alaikumussalam. Gimana acaranya?” tanya Putri ragu, dari tadi ia memang terus memikirkannya. “Alhamdulillah Put, sukses besar.” Putri cuma tersenyum, jangan coba menyenangkan hati Putri deh. “Nggak percaya?” Meta seolah tahu apa yang dipikirkan Putri. “Nih, liat aja!” ia menyodorkan rekaman handycam, play! Putri termangu memandang rekaman itu, acaranya meriah, pesertanya banyak, dan semuanya tampak lancar. Matanya berkaca-kaca saat Faris memberikan kata sambutan, “Saya, selaku ketua panitia mengucapkan terima kasih kepada seluruh panitia yang telah bekerja keras demi terlaksananya acara ini, terutama untuk Putri, seharusnya dialah yang lebih pantas memberikan kata sambutan, dan berada pada posisi saya sekarag ini...” Putri memalingkan wajahnya, ia tak ingin menangis. “Faris pasti latihan bermalam-malam untuk kata sambutan ini,” Putri tersenyum jenaka. “Boleh aku minta copy-annya?”
“Ya, absolutely! Cepat sembuh ya!”
“Oya, di luar masih ada yang lain. Kami permisi dulu oke!” Putri mengangguk. Meta masih disampingnya. Mereka sudah hendak keluar ruangan ketika Putri teringat, “Semua, syukron ya!” senyuman manis menghiasi wajahnya. “Nah, gitu dong, senyum.” Meta menggodanya. “Yang lain siapa sih, Met?” Rasanya tadi semua panitia akhwat lengkap. Berarti...ikhwan! “Aduh, Putri nggak kelihatan pucat kan? Nggak kaya’ orang sakit kan?” Meta tertawa, “Kenapa sih Put? Jangan egois lagi dong, mereka mau minta maaf kok.”
“Putri juga mau minta maaf sekaligus terima kasih,” Putri memandang Meta lekat-lekat, “Hanya saja, Putri nggak mau terlihat lemah, Met. I wanna be strong!”
“Super akhwat?”
“Ya, super akhwat! Tapi biar nggak berat sebelah harus ada super ikhwan, right?”
wah.. ikhwan2nya pada lemah
ReplyDelete:mrgreen:
ane dah folloe blog ente gan.buat insaf.ntar klo lagi kumat,ane berkunjung ke situs ente z gan.oya,klo sempat mampi balik y di http://www.ati-zone
ReplyDelete