Matahari sudah condong ke sebelah barat. Berdua dengan S, saya menyusuri jalan menuju stasiun. Pengumuman kereta akan segera datang telah terdengar, kami berdua semakin mempercepat langkah. Alhamdulillah masih bisa dikejar. "Kamu sudah beli karcis belum," tanya S. "Nggak sempat, nanti kucing-kucingan saja kalau ada petugas," jawab saya ringan, kaki sudah hampir masuk ke gerbong, tapi S malah menarik saya menjauhi kereta. Kereta berangkat. "Kenapa ngga beli karcis dulu," kali ini mukanya agak keruh. "Kan ngga sempat, lihat tuh, mana antri lagi, males," mata saya mengarah ke tempat penjualan karcis. "Ya sudah tunggu disini."
S bergegas pergi, dan dengan tidak enak hati saya memandangi punggungnya yang menjauh. "Berapa lama, waktu antri untuk membeli karcis," katanya ketika tiba di hadapan saya, tangannya menyodorkan karcis. "Sepuluh menit" singkat saya. "Gara-gara sepuluh menit, kamu bisa jadi antri di neraka". Drrrrr, gemetar juga ditembak telak seperti itu. "Dan saya nggak mau ikut-ikutan antri disana, gara-gara nggak ngingetin kamu," tambah S. Saya diam, kena setrum sepertinya. "Sudahlah, lain kali jangan curang!" perintahnya, kali ini dia memandang saya penuh arti.
Kalau terkenang dengan peristiwa tadi, saya selalu bergumam "Alhamdulillah... saya mempunyai sahabat". "Eh ada yang kangen ingin berjumpa dengan mu lho, mendengar rayuan mautmu, melihatmu mengemis memohon cinta. Ayo bangun. Tahajud euyy!!!" itu isi SMS dari seseorang yang baru saya kenal beberapa bulan. Pesan yang terus menerus dikirimnya selama hampir 1 minggu, pada jam 03.00 pagi, tidak kurang. Sebuah SMS yang sebelumnya diawali dengan misscall beberapa kali. Awalnya saya sempat merasa terganggu dan menyembunyikan HP dibawah bantal agar bunyinya tidak terdengar.
Ketika saya membalas SMS-nya dengan "Tidak sayang pulsa tuh, mengganggu ketenangan orang", SMS-nya pun datang, "lho katanya kamu sedang punya banyak masalah". Sangat singkat, mengingatkan bahwa 2 hari yang lalu saya curhat kepadanya. Sekarang, kala mengingatinya, juga selalu hati ini berujar "Alhamdulillah, saya memiliki sahabat yang demikian....".
Ini kisah yang saya dengar dari seorang muslimah. Suatu ketika, dia dan alumni pengurus Rohis SMA, berkumpul. Salah seorang rekan dari pengurus semasa Rohis (sebut saja A) baru saja meninggal, dan mereka baru tahu keadaan ekonomi keluarganya ketika melayat ke rumah A. Ternyata A ini tulang punggung ekonomi keluarganya, selain yatim, ibunya hanya berjualan ala kadarnya. Ibunya bercerita, salah seorang adiknya hampir mau ujian tapi karena tidak ada biaya, akhirnya gagal merampungkan sekolah.
Dibahaslah solusi untuk meringankan beban ibunda A, dengan sebelumnya beberapa rangkaian taushiyah bergulir. Semua yang hadir larut, banyak air mata di sana. Air mata cinta. Diakhir pertemuan, terkumpullah materi yang tidak sedikit, perhiasan, uang, sepeda motor, sepeda, dan sepasang sepatu baru. Kita pasti tahu kisah selanjutnya, si ibu tak henti menangis, dan hampir tersungkur di hadapan mereka. Allahu Akbar.
Sungguh kisah tadi seperti pesan yang disampaikan seorang ulama "Persahabatan antara orang-orang mukmin, menyatunya kalbu mereka, dan kecintaan yang terjalin diantara mereka merupakan karunia Allah bahkan juga termasuk taqarrub, dalam ketaatan yang paling agung" Dan Alhamdulillah, Almarhum A ini mempunyai sahabat seperti mereka...
Dunia menjadi penuh makna ketika kita mempunyai banyak sahabat. Dunia menjadi berpelangi tatkala banyak sahabat mengelilingi kita. Kahlil Gibran menyebut "Kesendirian adalah himpunan duka cita". Tentu saja, karena manusia dicipta untuk hidup dalam kebersamaan, seperti firman Allah "Wahai sekalian manusia, sesungguhnya Kami telah menciptakan kamu sekalian (terdiri dari jenis) laki-laki dan perempuan, dan Kami menciptakan kalian bersuku-suku dan berbangsa-bangsa agar kalian saling mengenal. Sesungguhnya yang paling mulia diantara kalian disisi Allah adalah yang paling bertakwa." (QS. Al-Hujurat:13).
Sekali lagi, banyak hikmah yang dapat kita reguk dari persahabatan. Dan juga perlu diingat, kita harus cerdik pula dalam memilihnya. Dalam era sekarang ini, ketika 'fenominul' begitu menyesakkan hati umat Muslim, menjamurnya narkoba, pesta muda-mudi, sepertinya kita butuh filter ampuh untuk memilih sahabat. Dan filter itu bisa begitu ampuh ketika kita mempunyai sahabat yang mampu mendekatkan diri kita kepada pemilik dari segala filter, Allah.
Memilih sahabat bukan berarti membeda-bedakan manusia. Memilah sahabat berarti kita menilainya dari karakter dan sifat yang dimilikinya. Sebuah persahabatan yang nantinya akan terjalin juga tidak seharusnya didasarkan pada parameter-parameter duniawi saja. Sungguh, ketika kita berjumpa dengan seorang yang berakhlak baik, menjaga shalatnya, maka itulah parameternya. Dan itulah yang dilakukan orang-orang shalih terdahulu dalam menimbang siapa saja yang pantas menjadi sahabat baginya.
Ayo, pikatlah sahabat sebanyak yang kita mampu. Sahabat yang tidak menjadikan kita, manusia yang disebut-sebut Al-Qur'an, "Pada hari si zhalim menggigit kedua tangannya seraya berkata: Ah, seandainya aku mengambil jalan bersama-sama Rasul. Malang nian, mengapa dulu aku menjadikan si fulan menjadi sahabat akrabku". (Al-Furqan 27-28)
Dan jangan lupa, "shalih sendiri" juga tidak bermanfaat, jadi pikatlah sahabat yang ketika dia mengenang kita, dia akan berujar "Alhamdulillah, saya mempunyai sahabat sepertimu..."
Akhirnya, saya sampaikan salam keselamatan untukmu yang berkenan membaca tulisan ini. Izinkan saya menyebutmu sebagai "sahabat". Saya ingin menggelarimu "sahabat", panggilan mesra Nabi al-Musthafa pada generasi setia di zamannya, sapaan akrab terdengar begitu merdu. Sebuah kosa kata indah yang saya temukan dalam buku "Berbagi cinta dengan para Sufi" sebagai kiasan bertubi untuk orang yang paling mempunyai makna. Dan sekarang, saya ingin mengadopsinya untuk anda yang sekali lagi berkenan membaca tulisan ini.
Sahabat, semoga Anda membendaharakan kata ini juga untuk saya. Dan ketika anda menjadi sahabat, tak akan pernah jengah anda memperingatkan, ketika saya salah melangkah.
Source: Tulisan seorang sahabat