Cukup lama waktu yang saya butuhkan untuk mengembalikan kepercayaan diri setelah keterpurukan diri yang membuat garis hitam dalam catatan sejarah hidup saya. Catatan sejarah hitam yang tidak akan pernah bisa terhapus meski banyak air sudah yang keluar dari sudut mata, meski banyak doa yang saya harap bisa meringankan beban yang teramat berat menanggung malu dan dosa masa lalu.
Saat merasa seperti sendiri, saya menjelajahi bumi mencoba menemukan seseorang yang bisa membantu. Suatu saat, seorang guru saya menelepon dan mengabarkan kalau seleksi beasiswa yang saya ikuti ternyata diterima. Sungguh hal tersebut sangat menggembirakan hati, namun tetap saja catatan hitam itu takkan terhapus, Saya datangi ayah dan ibu untuk menceritakan semua gundah. Mereka yang dengan penuh kesabaran mendengarkan hingga huruf terakhir terucap dari lidah ini. Kemudian ibu bilang, "pergilah, raih apa yang ingin kau raih".
Kemudian, saya pun pergi ke sebuah kota yang bahkan tidak dipikirkan sebelumnya, meninggalkan daerah perkampungan yang selama ini mengiringi saya tumbuh hingga 18 tahun. Bukan hal yang mudah untuk bisa bertahan, selama satu tahun pertama, perasaan tentang betapa kotornya tubuh ini, betapa hinanya hati ini, dan betapa tidak berharganya hidup ini, terus terngiang di telinga. Desakan pikiran yang membuat dada ini semakin sesak adalah bahwa disini saya hanya sendirian, sendiri di dunia yang begitu asing, jauh dari rumah, jauh dari saudara, terlebih lagi yang begitu menyakitkan adalah jauh dari orang tua, terutama ibu, yang sedari kecil hingga lulus tak pernah jauh.
Apa sebenarnya tujuan hidup ini, apakah hanya seperti ini? melihat sekeliling yang serba mewah, glamour, bebas, seronok, apakah seperti ini sebenarnya hidup?
Di suatu saat ketika Ramadhan, saya di ajak oleh kakak untuk ikut MABIT di sebuah Masjid dekat kampusnya. Ya, kakak, Dialah orang yang selama setahun ini membuat saya bertahan, walaupun hati ini terus saja gelap, karena saya berpikir, "kakak tidak mungkin akan terus di samping saya". Perlahan, malu dan merasa kotor diri ini untuk memasuki masjid, dan seketika saya merasa diri ini tidaklah berharga saat melihat wajah-wajah bersih, sebagian besar wanitanya menutup kepala mereka dengan jilbab, apalah diri ini. "Mari masuk, selamat datang. Kehadiran Anda sangat kami nantikan disini" Sungguh sebaris kalimat yang sangat hangat terdengar.
Sejenak hati ini terpaku merasakan sentuhan persahabatan yang luar biasa dari tatapan, sapaan dan tangan terbuka dari semua yang berada di dalam masjid. Terlebih ketika seorang dari mereka, merangkul pundak saya, "Inilah kami, sebuah keluarga besar yang akan juga menjadi keluarga Anda." Saya seperti baru saja mendapat peluk cium dan kehangatan yang luar biasa, nyaris menandingi kasih yang selama ini saya terima dari ibu. Ada keluarga baru disini, sahabat-sahabat baru dengan senyum dan sapa cintanya.
Hari-hari sesudah itu membantu saya melupakan masa lalu, meringankan beban menanggung dosa masa lalu yang benar-benar tidak pernah bisa hilang dari kenangan. Sahabat-sahabat baru itu seolah tengah membantu saya mengangkat beban yang teramat berat meski hanya dengan senyum, tepukan di punggung atau menyediakan telinga mereka untuk tempat saya membuang sampah mulut ini. Ya, karena kadang yang saya bicarakan kepada mereka bisa jadi tak penting bagi mereka, tapi sungguh telinga mereka tetap tersedia untuk kisah-kisah tak penting saya.
***
Dimana pun saya berada, kemana pun saya pergi, satu yang terpenting untuk saya temukan, yakni sebuah kekayaan bernama sahabat. Tidak seorang pun yang paling beruntung di dunia ini melainkan ia yang memiliki sahabat. Karena sahabat ada, untuk mereka yang terluka, untuk mereka yang tengah memikul berat beban, untuk menghapus air mata yang berduka, membantu seseorang berdiri dari keterpurukan dan menyediakan sayapnya untuk terbang bersama.
Akhirnya, sampailah saya pada satu kepastian hakikat, bahwa sahabat adalah kekayaan sebenarnya. Hilang satu, miskinlah sudah. Bertambah satu, semakin beruntunglah. Terima kasih untuk semua sahabat, Anda adalah kekayaan saya sebenarnya.
Naha asa sedih ngebaca post yang ini... T_T
ReplyDeletekata siapa kita ini sahabat kamu???
hehehe... kita kan sodaraan...
Semangat teh mita... eh salah....
Semangat kang kasmita....
yg udh terjadi ambil pelajarannya jangan terlalu lama dalam keterpurukan...